Selasa, 09 Oktober 2012

Lisan adalah anugerah dari Allah swt bagi manusia. Melalui lisan, manusia dapat mengekpresikan apa yang ada dalam hati ataupun pikirannya. Dengan lisan manusia dapat berkomunikasi dengan manusia lainnya. Melalui lisan ini pula manusia dapat memahami keinginan serta memahami ucapan manusia lainnya.
Secara bentuk fisik, lisan dapat dimaknai sebagai lidah. Sehingga, dengan lisan ini manusia dapat merasakan aneka jenis rasa, mulai dari manis, asem, kecut, pahit, asin dan sebagainya. Beragam masakan dan minuman dengan beribu macam variannya tak akan terasa nikmat bila tiada lisan. Beribu manfaat lain dapat diperoleh dan dinikmati manusia dari lisan ini.
Namun demikian, tulisan ini akan fokus pada pemaknaan lisan yang diartikan sebagai (1) sesuatu yang diucapkan, atau (2) dengan tutur kata (percakapan), sebagaimana definisi lisan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Fungsi lisan, selain dapat berkomunikasi bagi manusia dengan manusia lainnya, adalah berkomunikasi dengan Allah swt. Komunikasi ini terlihat jelas dalam bentuk ritus ibadah seperti sholat, wirid, istighfar, bersyukur, berdo’a, membaca Alquran, dan sebagainya. Bahkan, keimanan seseorang salah satunya terpancar melalui lisan, yakni dengan mengucap dua syahadat, sebagai bentuk kesaksian tiada Tuhan selain Allah dan kesaksian Muhammad utusan Allah. Begitu pula sebaliknya, kekafiran juga bisa terlihat dari ucapan lisannya.
Di sisi yang lain, lisan juga berperan penting dalam ritus ibadah sosial yang diatur dalam Islam. Seperti dalam pernikahan, khususnya dalam akad nikah, dalam jual beli, persewaan, hutang piutang, dan sebagainya. Lisan berperan sangat penting. Dalam ijab qabul pernikahan misalnya, fungsi lisan menjadi pokok, begitu pula dalam jual beli dan sebagainya. Melalui lisan ini adalah sebagai bentuk ekpresi seseorang dalam akad yang terjadi.
Begitu besar apa yang dapat diambil manfaat dari lisan. Tetapi bila disalahgunakan, atau tidak digunakan sebagaimana mestinya akibatnya sangat fatal. Sebuah pepatah “mulutmu adalah harimaumu” menggambarkan bahwa dari lisan atau perkataanmu dapat mendatangkan bahaya dan malapetaka. Artinya, lisan kita berpotensi untuk mendatangkan keburukan maupun kebaikan.
Bila lisan mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan, kata-kata yang jorok atau bahkan kata-kata yang menghina, minimal akan membuat orang lain sakit hati. Bahkan dengan hal ini, besar kemungkinan akan membuat orang lain memusuhinya. Bila dibiarkan, permusuhan dan ketidakharmonisan akan berkembang luas. Tidak sedikit contoh yang bermula dari satu ucapan kotor saja, berkembang menjadi perkelahian bahkan pertikaian yang tiada berujung.
Godaan lisan lainnya adalah berbohong. Hal ini kerap dilakukan dengan seribu alibi dan alasan. Para ulama telah bersepakat bahwa dusta atau bohong adalah memberikan atau menyampaikan informasi baik berupa laporan, data, pertanggungjawaban dan sebagainya yang tidak sesuai atau tidak cocok dengan kenyatannya.
Berdusta bisa diklasifikasi menjadi tiga buah, berdusta dengan perkataan, yaitu perkataan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berdusta secara tertulis, yaitu membuat suatu kontrak, transaksi, laporan, berita dan lainnya yang tidak sesuai dengan kejadian atau keadaan yang sebenarnya, dan berdusta dalam hati, artinya hatinya mendustakan sedang mulutnya membenarkan.
Untuk menyelamatkan lisan agar tidak sering berdusta, Nabi saw telah mewanti-wanti untuk menghindari kedustaan ini. Secara jelas dalam hadis Nabi dikatakan bahwa berbohong adalah salah satu ciri orang munafik. Dan orang munafik akan diganjar dengan neraka yang paling pedih.
“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga. jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya ia berkhianat.” (HR. Bukhari)
Menurut Syekh Mustofa al-Golayaini, peran lisan menjadi penting untuk melihat benar tidaknya seseorang. Bahkan tidak hanya itu, beliau mengingatkan, lisan saja tidaklah cukup, tetapi perlu dibuktikan dengan perbuatan. Dengan tegas beliau mengatakan, orang yang shiddiq adalah orang yang perbuatan dan perilakunya sesuai dengan perkataannya.
Dengan demikian sangatlah penting menjaga lisan dari perkataan-perkataan yang kotor ataupun perkataan yang dusta. Siapapun dan apapun motif yang dikandungnya, berbohong tidaklah baik. Tiada manusia yang ingin dibohongi, maka jauhilah kebohongan. Tiada manusia yang ingin disakiti, maka jauhilah kata-kata kotor dan menyakitkan.
Dengan tegas Nabi mengingatkan, hendaklah kalian berkata-kata baik, atau lebih baik diam. Waallahu A’lam. (*)
Dimuat di Cermin Hati, Radar Kudus Jawa Pos, Edisi Jum’at 14 September 2012

mari memotret

Setiap jam, menit, detik, dunia ini selalu mengalami perubahan. Tekhnologi pun mengalami kemajuan yang pesat dalam segala bidang, sehingga pekerjaan manusia semakin hari semakin ‘instan’. Begitu juga dalam dunia menggambar. Mungkin dahulu manusia menggambar masih menggunakan bebatuan, seperti relief. Alat tulis pun tak lupa mengalami perkembangan. Dunia teknologi juga unjuk gigi dalam bidang ini dan malah lebih mudah. Tinggal ‘jepret’ langsung jadi sebuah gambar. Tehnik gambar yang “instan” ini disebut dengan “fotografi”.
Dunia fotografi adalah dunia penuh warna. Semua yang nyata dengan mudah mampu tergambar dalam selembar kertas. Objeknya pun bervariasi, mulai dari yang serius, yang lucu, bahkan sampai yang aneh pun ada. Menjadi tak heran jika warta penuh dengan foto, karena foto sejatinya mampu bercerita dan memberita. Foto juga dapat dijadikan sebagai bukti sejarah atau pun menjadi kenangan-kenangan indah yang pernah kita alami.
Bicara soal objek foto, banyak objek yang bisa dijadikan sebagai bahan pemotretan, seperti pemandangan indah, laut luas, dan tak jarang pula para pemotret mengambil objek manusia, ataupun binatang sebagai bahan pemotretan. keduanya adalah makhluk hidup.
Inilah yang akan menjadi pembahasan kita kali ini. Apakah benar ada dalam fiqh tentang anggapan bahwa menggambar makhluk hidup itu disamakan dengan pembuatan makhluk hidup yang dilakukan oleh Tuhan?
Ada sebagian ulama yang berpendapat mengharamkan menggambar manusia, binatang, ataupun hewan, yang mana termasuk makhluk Allah yang mempunyai ruh. Sedangkan benda-benda yang tidak mempunyai ruh, diperbolehkan menggambarnya. Mereka mendasarkan pendapat mereka dari hadits:
مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَاباً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُصَوِّرُونَ هذِهِ الصُّوَرَ
Sesungguhnya termasuk dari manusia yang paling pedih siksanya di hari kiamat adalah yang menggambar gambaran ini. (Fiqhus Sunnah, III, 498)
Tambah lagi riwayat dari Abdullah bin Abbas tentang adanya ancaman bahwa besok di hari kiamat orang-orang yang menggambar objek itu akan disuruh memberikan nyawa pada gambarannya. Sedangkan orang-orang itu tak akan bisa meniupkan nyawa selamanya. (Fiqhus Sunnah, III, 498)
Ada juga hadits Nabi yang mengatakan:
لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ
Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar. (Shahih Bukhari, III, 1206)
Hadits ini menerangkan malaikat tidak mau masuk ke dalam rumah yang dihuni oleh anjing dikarenakan banyaknya najis, dan juga karena anjing itu adalah syetan, seperti yang ada dalam salah satu teks hadits. Sedangkan malaikat itu adalah lawan dari syetan. Karena itu, malaikat tidak berkenan untuk masuk ke rumah tersebut. Untuk yang gambar, malaikat tidak mau masuk rumah yang ada gambarannya dikarenakan gambaran adalah dosa yang keji karena di dalamnya terdapat unsur menyerupai buatan Allah, gambaran adalah sesembahan selain Allah. Maka dari itu malaikat tidak sudi untuk masuk ke dalam rumah itu.
Namun, bukan mutlak semua malaikat tidak mau masuk ke rumah yang ada gambarannya, tetapi yang dimaksud adalah malaikat yang yang tugasnya berkeliling membagi rahmat, berkah, dan ampunan. Adapun malaikat selain itu, tentu masih berkenan masuk karena bertugas sebagai pencatat amal, penjaga diri manusia, atau pencabut nyawa. Ketidakmauan malaikat tadi bukan karena malaikat rahmat itu takut pada gambar, syetan, atau pada anjing, tapi memang telah di-setting oleh Sang Pencipta seperti itu, sehingga pemilik rumah tidak mendapat jatah rahmat dan ampunan yang sedang dibagi-bagi. (Syarhun Nawawi Ala Muslim, VII, 207)
Makhluk hidup yang dimaksud di sini bukan hanya makhluk hidup yang sering kita lihat saja, tetapi juga mencakup makhluk-makhluk hidup fantastis yang bahkan mungkin kita belum pernah memikirkannya. Seperti kuda bersayap, burung berwajah manusia. Semuanya termasuk diharamkan untuk menggambarnya, karena semua itu juga menyerupai berhala. (Fathul Mu’in, III, 411; Ibanatul Ahkam, II, 335)
Menurut Imam al-Adzra’i, pendapat yang telah masyhur mengatakan kebolehan menggambar hewan yang tidak berkepala. Dipandang dari dhohir hadits, hewan yang tak berkepala, berarti tak bisa hidup. Sedangkan yang diharamkan adalah yang dimungkinkan hidup. (Mughnil Muhjat Ila Ma’rifati Alfadhil Minhaj, XIII, 104)
Berbeda lagi dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Nawawi. Beliau berpendapat bahwa boleh membuat gambar begitu jika gambar itu tidak ada bayangannya. Jadi yang haram adalah semacam patung yang berbentuk tiga dimensi. (Ibanatul Ahkam, II, 336)
Selain itu, pembuatan gambar/patung berupa boneka, robot, dan mainan anak-anak lainnya diperbolehkan. Dengan alasan mainan anak adalah kebutuhan bagi anak-anak, sampai mereka bisa berpikir dewasa. Siti ‘Aisyah pun pernah bermain menggunakan boneka di samping Rasulullah. Selain bentuk boneka, bentuk-bentuk binatang yang biasa ditemui pada permen, botol minuman, juga diperbolehkan. Karena juga termasuk kebutuhan bagi anak-anak. Gunanya adalah untuk melatih mereka dalam urusan pendidikan dan sebagai sarana edukatif. (Fathul Mu’in, III, 413)
Alasan (‘illat) kenapa menggambar ataupun membuat patung itu diharamkan adalah karena termasuk tasyabbuh. Yaitu menyerupai buatan Allah dan menyerupakan dirinya (orang yang membuat) dengan Allah. Segi persamaannya adalah sama-sama membuat bentuk makhluk.
Setiap perkara yang diharamkan pastilah mengandung hikmah tersendiri. Begitupun juga tentang pengharaman gambar dan patung ini. Hikmahnya adalah jauh dari berhala-berhala, melindungi diri dari perbuatan syirik, dan menyembah berhala. Pernah diriwayatkan bahwa nama-nama berhala seperti Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr, adalah nama orang-orang shaleh kaum Nabi Nuh. Ketika orang-orang shaleh itu meninggal, mereka membuat gambarnya untuk mengingat orang-orang shaleh itu. Dan pada akhirnya mereka malah menyembah orang-orang yang digambar tadi. Karena itu, menggambar jadi diharamkan karena nantinya akan berakhir pada penghambaan. (Tafsir al-Qurthubi, XVIII, 308)
Bicara tentang ‘illat, hukum itu berputar sesuai ‘illat-nya. Dalam kondisi sekarang, beda dengan kondisi dahulu, ketika masyarakat Arab masih belum sempurna lepas dari sesembahan nenek moyangnya yaitu patung. Sampai-sampai dalam sejarah mengatakan pada zaman itu ka’bah dikelilingi oleh 360 patung. Dalam sosio-kultur masa itu, memang dimungkinkan pembuatan gambar untuk disembah. Namun dalam kondisi masyarakat sekarang ini, malah jarang-jarang ada pembuatan patung untuk keperluan sesembahan, apalagi gambar. Maka, patung-patung seperti untuk mengingat jasa pahlawan, monumen, ataupun untuk keperluan seni boleh saja. Asalkan bukan untuk disembah.
Lalu bagaimana tentang fotografi?
Dalam KBBI, pegertian dari fotografi adalah seni dalam keterampilan membuat gambar dengan menggunakan film peka cahaya dalam kamera. (KBBI, 435)
Para ulama ahli fiqh mutaakhirin berpendapat bahwa fotografi (at-tashwir as-syamsi) bukan termasuk dalam area haram seperti halnya menggambar dengan tangan. Karena fotografi merupakan pengambilan gambar selayaknya bercermin. Kemudian bayangan itu dihentikan sehingga menjadi sedemikian rupa. Lagi pula, dalam fotogari ini tidak ada unsur tasyabbuh seperti yang disebut di depan tadi. Maka, boleh-boleh saja memotret objek apapun. Asalkan bukan yang dilarang. (Ibanatul Ahkam, II, 337)
Fotografi pun, jika pengambilan objeknya adalah barang-barang yang banyak dhoror-nya, tentu haram. Seperti foto syur, foto yang menghina orang lain, menghina Tuhan, dan lain sebagainya. Bukan karena fotografinya, tapi karena objeknya adalah sesuatu yang haram.
Akhirnya, fotografi bukanlah merupakan tashwir, tetapi fotografi adalah menghentikan bayangan. Jadi bukan termasuk tashwir yang diharamkan yang dibuat dengan tangan. Juga sama sekali tidak menimbulkan dhoror. Dan lebih baik lagi jika di dalamnya bisa menggugah semangat untuk beribadah, dan berisi maslahat bagi umat. Lebih-lebih digunakan sebagai batu loncatan untuk berdakwah menyebarkan Islam. So, ekspresikanlah senimu! [eLFa]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar