Ayat
Hukum Dalam Al-Qur'an
A. Pengertian Ayat Hukum
Corak bahasa al-Qur'an memiliki keunikan tersendiri apabila
dibandingkan dengan kitab-kitab suci yang lain. Keunikan tersebut bukan hanya
dari sisi keindahan tuturan saja, akan tetapi juga cakupan maknanya yang tidak
pernah habis untuk digali dan dikaji. Pokok-pokok isi al-Qur'an selain
menerangkan dan menjelaskan tentang ketauhidan, keimanan, dan kisah-kisah, juga
menjelaskan tentang hukum-hukum (yang biasa disebut dengan ayat-ayat ahkam).
Ayat ahkam adalah sebuah ayat yang menjelaskan tentang
hukum-hukum syariat Islam agar terbentuknya suatu aturan-aturan yang lebih
teratur, terkontrol dalam kegiatan sehari-hari manusia. Di sisi lain ada yang
merumuskan bahwa yang dimaksud dengan ayat hukum ialah ayat-ayat al-Quran yang
berisi tentang khithab (titah/doktrin) Allah yang berkenaan dengan tholab
(tuntutan untuk melakukan dan atau meninggalkan sesuatu) atau takhyir
(kebebasan memilih antara mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu).
Dalam pembahasan Ayat-Ayat Ahkam, selalu menggunakan term
Ayat Al-Qur’an, dan dapat dikatakan tidak pernah menggunakan term Surat, karena
Ayat sifatnya lebih fokus.
Ayat-ayat
hukum diformulasikan sebagai ayat-ayat al-Quran yang berisikan rangkaian
perintah dan larangan, atau masalah-masalah fiqhiyah lainnya. Dengan kata lain,
ayat-ayat hukum ialah ayat-ayat al-Quran yang berisikan tentang masalah-masalah
hukum.
B. Bagian-bagian Ayat Hukum dalam Al-Qur’an
Menurut Amir Syarifuddin, kandungan al-Qur’an yang berisi
hukum-hukum ternyata hanya sebagian kecil saja, yaitu yang menyangkut perbuatan
mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat dan ketentuan yang ditetapkan.
Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan
Allah Swt. maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya.
Secara garis besar, hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga
macam:
Pertama, hukum-hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah Swt. mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus
dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah
dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut
hukum i’tiqadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau “Ushuluddin”.
Kedua, hukum-hukum yang mengatur hubungan
pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat
buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini
disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
Ketiga, hukum-hukum yang menyangkut
tindak-tanduk manusia dan tingkah laku lahiriahnya dalam hubungan dengan Allah
Swt., dalam hubungan dengan sesama manusia, dalam bentuk apa-apa yang harus
dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya
dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”.
Dalam
buku Sejarah dan Ilmu Tafsir, karangan Prof. Dr. TM. Hasbiy Ash-Shiddiqie ,
Ayat-Ayat hukum dalam Al-Qur’an dikelompokkan ke dalam dua bagian :
a.
Hukum-hukum ibadat, yaitu : segala hukum yang disyari’atkan untuk mengatur
perhubungan hamba dengan Tuhannya. Ibadat ini terbagi kepada :
(1)
Ibadah badaniyah, seperti shalat dan
shaum.
(2)
Ibadah maliyah, ijtimaiyah, yaitu
zakat dan sedekah.
(3)
Ibadah ruhiyah, badaniyah, yaitu
haji, jihad, dan nadzar.
b.
Hukum-hukum muamalat, yaitu : segala hukum yang disyari’atkan untuk menyusun
dan mengatur perhubungan manusia satu sama lainnya, serta perikatan antara
perseorangan dengan perseorangan, perseorangan dengan masyarakat, atau
perseorangan dengan negara. Muamalat dibagi kepada:
(1)
Hukum-hukum ahwal syakhsyiyah, yaitu : hukum-hukum yang rapat perhubungannya
dengan pribadi manusia sendiri sejak lahir hingga matinya, yaitu kawin, cerai,
iddah, hubungan kekeluargaan, penyusuan, nafkah, wasiat dan pusaka.
(2)
Hukum-hukum perdata, yaitu hukum mu’amalah antara perseorangan dengan
perseorangan dan juga masyarakat. Seperti jual-beli, sewa-menyewa, gadai dan
lain-lainnya yang menyangkut harta kekayaan.
(3)
Hukum-hukum pidana, yaitu : hukum-hukum yang disyari’atkan untuk memelihara
hidup manusia, kehormatan dan harta. Hukum-hukum ini diterangkan secara
terperinci dalam Al-Qur’an. Perbuatan manusia yang diterangkan Al-Qur’an, ialah
: pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan tidak disengaja, mencuri, merampok,
zina, dan qodzaf.
(4)
Hukum-hukum ketatanegaraan, umum dan khusus. Masuk ke dalamnya hukum-hukum yang
disyari’atkan untuk jihad, aturan-aturan perang, perhubungan antara ummat Islam
dengan ummat lain, hukum-hukum tawanan dan rampasan perang.
(5)
Hukum-hukum acara, yaitu yang bersangkut paut dengan pengadilan kesaksian dan
sumpah.
(6)
Hukum tentang ekonomi dan keuangan, yaitu hak orang miskin pada harta orang
kaya, sumber air, bank, juga hubungan antara fakir dan orang-orang kaya, antara
negara dengan perorangan.
(7)
Hukum perundang-undangan, yaitu yang berhubungan dengan hukum dan
pokok-pokoknya. Yang dimaksudkan dengan ini ialah membatasi hubungan antara
hakim dengan terdakwa, hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat.
C. Jumlah Ayat-Ayat Hukum dalam al-Qur’an
Jumlah ayat-ayat hukum dalam al-Quran relatif sedikit, bahkan tidak mencapai
1/10 dari keseluruhan Ayat Al-Qur’an. Diperkirakan jumlah ayat hukum lebih
kurang 250 ayat, ada pula yang menyatakan 200 ayat seperti yang dikemukakan oleh
Ahmad Amin, dan 400 ayat dalam Ahkam al-Quran Ibn al-Arabi. Sedangkan menurut
penghitungan Abdul Wahhab Khallaf, jumlahnya sekitar 228 ayat. Bahkan jika
pendapat Syeikh Thantawi Jawhari diikuti, ia mengatakan ayat hukum di dalam
Al-Qur’an lebih kurang 150 ayat. Lepas dari perbedaan jumlah ayat hukum, apakah
150 atau 400 ayat, atau lebih dari itu, namun yang jelas ada semacam
kesepakatan di kalangan pakar bahwa ayat hukum tidak lebih dari 500 ayat.
Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa Ayat-Ayat Al-Qur’an yang berhubungan
dengan masing-masing tersebut berjumlah :
a.
Yang berhubungan dengan ibadah, sebanyak 140 Ayat.
b.
Yang mengatur ahwal syakhsyiyah, sebanyak 70 Ayat.
c.
Yang berhubungan dengan jinayah, sebanyak 30 Ayat.
d.
Yang berhubungan dengan perdata, sebanyak 70 Ayat.
e.
Yang berhubungan dengan hubungan Islam dan bukan Islam, sebanyak 25 Ayat.
f.
Yang berhubungan dengan hukum-hukum acara, sebanyak 13 Ayat.
g.
Yang mengatur keuangan negara dan ekonomi, sebanyak 10 Ayat.
h.
Yang mengenai hubungan kaya dan miskin, sebanyak 10 Ayat.
D. Karakteristik Ayat Hukum
Ayat-ayat hukum dapat dibedakan dalam dua kategori. Pertama, ayat-ayat
yang bersifat qath’iyah. Ayat-ayat ini tidak dapat berubah hukumnya
dalam berbagai keadaan, situasi, kondisi, zaman, tempat dan waktu. Artinya
tidak boleh ada intervensi akal dan fikiran manusia dalam merumuskan
hukum-hukumnya, akan tetapi hukum-hukumnya berlaku sejak ayat-ayat itu
diturunkan sampai berakhir kehidupan di atas permukaan bumi ini, dan tidak akan
pernah mengalami perubahan. Para mujtahid tidak diberi wewenang untuk melakukan
ijtihad dalam bidang ini, baik dengan melakukan penafsiran, pensyarahan maupun
membuat penakwilan yang berbeda dengan tekstual ayat. Penunjukannya terhadap
hukum tertentu dengan sangat detail, jelas dan tidak memiliki penafsiran ganda,
seperti halnya ayat-ayat tentang ibadah, mawaris, hudud dan qishash.
Kategori
kedua, ayat-ayat yang bersifat zhanniyah. Ayat-ayat ini dapat
berubah hukumnya sesuai dengan perubahan keadaan, ‘uruf, zaman dan tempat.
Artinya para mujtahidnya diperkenankan mengintervensi dalam memformulasi
hukum-hukum yang dikandungnya sesuai dengan perkembangan zaman, perubahan
tempat, waktu dan keadaan. Penunjukannya terhadap hukum tidak mendetail, akan
tetapi memuat norma dasar yang bersifat global, sehingga memiliki penafsiran
ganda.
Ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an menggunakan bahasa hukum yang luas, luwes,
lugas dan akurat. Luas, karena al-Quran hampir atau bahkan selalu menampilkan
kosa kata pilihan yang bersifat substansial universal (jawami’ al-kalim).
Luwes, karena ayat-ayat hukum dalam al-Quran memiliki banyak makna (musytarak)
di samping kaya dengan sinonim (muradif)
Dengan
bahasa hukum yang singkat dan akurat, tetapi luas dan luwes, pada satu pihak
menyebabkan ayat-ayat hukum Al-Quran mampu menjangkau persoalan-persoalan hukum
sejenis, sementara pada pihak yang lain, juga mudah beradaptasi yang
menyebabkan hukum Al-Quran tetap dinamis. Di sinilah letak elastisitas hukum
Al-Quran yang selalu sesuai dengan tuntutan zaman.
Seiring
dengan hal itu fitrah manusia yang memiliki naluri untuk berfikir (berijtihad)
tidak terhambat. Seterusnya pintu ijtihad untuk mengembangkan kreatifitas nalar
manusia (mujtahid) dalam bidang hukum terbuka lebar tidak pernah ditutup.
E. Memahami Ayat Hukum yang Ada Pada Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk bagi kemaslahatan umat manusia, baik secara
individual maupun sosial, maka ayat-ayat hukum merupakan bagian dari
petunjuk-petunjuk yang ada di dalam Al-Qur’an.
Untuk
mengambil petunjuk dari ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an diperlukan pemahaman
yang benar terhadap makna dan pesan yang dikandungnya. Namun memahaminya
tidaklah semudah membalikkan telapak tangan sebab Al-Qur’an selain berbahasa
Arab juga memakai gaya bahasa dan sastra Arab yang tinggi yang benar-benar
indah dan merdu (badi’ dan baligh), yang tidak mungkin dapat dipahami dengan
baik kecuali dengan penguasaan bahasa Arab dan tata bahasanya, ilmu balaghah
dan sastra Arab Jahiliyah.
Selain
itu, banyak ayat Al-Quran yang sulit dipahami secara konkret karena sebagian
ayat-ayatnya, selain mengandung kalimat-kalimat yang bersifat umum, juga
mengusung makna ganda sehingga harus mendapatkan penjelasan berdasarkan riwayat
dari Rasul SAW sebagaimana yang dikemukakan oleh para sahabatnya. Oleh
karenanya, seseorang yang ingin melakukan istinbath hukum dari ayat-ayat hukum
dalam Al-Qur’an dituntut untuk memenuhi beberapa persyaratan dan memakai metode
dan kaedah yang tepat dan benar.
Menelaah bagaimana para sahabat Nabi merealisasikan Al-Quran dalam kehidupannya
dapat membantu kita untuk dapat meneladani dan menempuh jalan yang pernah
mereka tempuh. Dengan demikian, untuk memahami ayat-ayat hukum kita harus
merujuk kepada yang dipahami oleh para salafus shalih terutama pemahaman para
shahabat. Hal ini dikarenakan mereka lebih ahli dibanding profesor Al-Quran
terpintar saat ini sekalipun, karena mereka mendapat petunjuk langsung dari
Rasulullah saw dan mengetahui asbabun nuzul ayat.
Adalah
suatu hal yang mustahil untuk memahami suatu ayat tanpa mengetahui latar
belakang dan konteks historis ayat tersebut, kapan turunnya, dan bagaimana
keadaan waktu itu. Apalagi ayat-ayat yang berkenaan dengan pensyariatan suatu
hukum yang secara terus menerus perlu diistimbathkan dari ayat tersebut.
Berikut
merupakan salah satu strategi agar dapat memahami ayat hukum yang ada pada
al-Qur’an:
Pertama, tanpa didahului oleh asumsi dan
opini tertentu.
Al-Qur’an
mengajak manusia untuk tidak mengikuti secara buta kepada kepercayaan dan
norma-norma yang diajarkan masyarakat. Akan tetapi memikirkannya dengan
terlebih dahulu menghilangkan segala atribut, prasangka, hal-hal yang tabu dan
yang mengikat pikiran mereka. Hal ini untuk menghindari agar pemahaman
ayat-ayat hukum tidak dipaksakan supaya sesuai dengan asumsi yang telah dia
pegang dan berusaha mencari-cari legitimasi untuk mendukung pendapat yang ia
yakini, bukan mempelajari ayat tersebut untuk meluruskan pemahamannya.
Kedua, merasa bahwa setiap ayat ditujukan
kepada kita.
lmam
al-Ghazali dalam al-Ihya’ berkata: “Merasa bahwa kitalah yang dimaksud oleh
setiap khithab Al-Quran. Jika Al-Quran memerintah maka kitalah yang diperintah,
jika Al-Quran melarang maka kitalah yang dilarang, jika Al-Quran memberi janji
maka kitalah yang diberi janji, jika Al-Quran mengancam maka kitalah yang
diancam, jika Al-Quran bercerita maka kitalah yang harus mengambil ibrahnya,
bahkan jika khithab Al-Quran berbentuk jama’ maka kitalah yang paling dimaksud
(QS. Al-An’am : 19). Bagaikan seorang budak yang membaca surat dari majikannya,
sehingga dengan demikian maka bacaan Al-Quran akan menambah keimanan, iltizam
(komitmen), pengamalan dan menjadi rijal Quraniy (generasi Quran) yang
memberikan atsar dan manfaat pada dirinya dan orang lain.”
Ketiga, tunduk dan patuh kepada
hukum-hukum Al-Quran.
Setiap
orang harus tunduk dan patuh kepada hukum Al-Quran, baik yang rasional, maupun
yang irrasional. Ini adalah sifat dan prilaku Nabi dan para shahabat, sementara
mengkritisi hukum Tuhan yang qath’i dengan alasan tidak logis adalah sifat dan
prilaku iblis. Selain itu, membedakan hukum-hukum Tuhan antara yang layak
diamalkan dengan yang tidak layak merupakan sifat dan prilaku Yahudi.
Keempat, tidak dibatasi oleh ruang, waktu
dan tempat.
Al-Quran
adalah kitab suci yang bersifat universal untuk semua masa. Ayat-ayat hukumnya
berlaku untuk semua manusia, baik bagi orang yang ada pada waktu diturunkan
maupun yang tidak. Dengan demikian harus kita fahami bahwa ayat-ayat hukum
Al-Quran sesuai dengan masa kini terdapat relevansi yang sangat kuat. Sekiranya
dapat disikapi dengan cerdas kita akan mendapat jawaban hukum yang sempurna
dari ayat-ayat hukum yang ada dalam al-Quran tentang segala masalah yang kita
hadapi.
F. Peranan Ayat Hukum dalam Kehidupan Manusia
Tidaklah mungkin memahami Islam tanpa memahami hukum Islam. Pernyataan ini
pernah dilontarkan oleh seorang orientalis ketika berbicara tentang hukum
Islam. Pertanyaan tersebut menunjukkan betapa signifikannya keberadaan hukum
Islam dalam bangunan agama Islam,terlebih berkaitan dengan keberagaman umat
Islam.
Ternyata, jika dicermati hampir tidak ada satu aktifitas seorang muslim yang
luput dari norma hukum. Tentu saja yang dimaksud disini adalah hukum praktis
yang terdiri dari lima kategori, wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Sejak
bangun tidur sampai tidur kembali,setiap muslim dalam aktivitasnya, apapun
bentuknya, akan terkena salah satu dari lima norma hukum tersebut.
Ketika
ia sholat, berarti ia sedang melaksanakan sesuatu yang wajib. Pada saat
memberikan infaq, ia sedang melakukan perbuatan sunnat. Ketika ia tidur sebagai
sebuah rutinitas, berarti ia sedang melakukan perbuatan mubah. Lebih jauh dari
itu, apapun persoalan yang dihadapi seorang muslim, terlebih berhubungan dengan
hal-hal kontemporer, selalu saja yang pertama sekali dipertanyakan adalah
status hukumnya.
Biasanya
ia tidak akan mau melakukan atau mengkonsumsi sesuatu sepanjang hukumnya tidak
jelas. Oleh sebab itu, jauh lebih banyak buku-buku yang berisi fatwa-fatwa
hukum ketimbang persoalan yang menyangkut aqidah, akhlak dan dimensi Islam
lainnya. Kejelasan hukum, akan memberikan rasa aman, damai dan tenteram bagi umat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar