Selasa, 09 Oktober 2012

QUDSIYYAH, KUDUS – Nadhir Qudsiyyah Kudus, KH Sya’roni Ahmadi, mengingatkan kepada seluruh santri untuk tidak mudah dipecah belah dan diperdaya aqidahnya. Sebab, banyak musuh-musuh yang selalu menginginkan umat Islam untuk dipecah belah. Caranya dengan menghancurkan aqidah-aqidah ahlussunnah yang telah dipegangi.
Demikian salah satu pokok hal yang disampaikan kyai sepuh Kudus ini dalam acara Isra’ Mi’raj dan Muwadda’ah di Madrasah Qudsiyyah Kudus, Ahad (17/05/2012).
Di hadapan ratusan santri kelas XII MA yang telah berhasil lulus, kelas IX MTs, kelas VI MI, dewan guru, pengurus, dan wali santri, beliau menegaskan untuk selalu selalu waspada dan temenanan (Serius) untuk gendoli (berpegang teguh) aqidah yang telah dipeganginya. “Ngajine seng tenanan, ojo gampang ditipu aliran-aliran sesat (Belajarnya yang serius dan mendalam, jangan mudah diperdaya oleh aliran-aliran sesat),” tegas beliau.
Kemudian beliau menceritakan upaya Wahabi berusaha memecah belah ulama dan umat Islam di Indonesia, khususnya di Kota Kudus sekitar tahun 1918 TU. Saat itu terjadi Huru-Hara Kudus yang besar antara umat Islam dan Tionghoa di Kudus. Salah satu penyebabnya, umat Islam waktu itu sedang bekerja memperluas masjid al Aqsha Menara. Umat Islam sibuk mengangkut bahan-bahan bangunan seperti pasir, batu dan lainnya dari kali Gelis yang berada sekitar 500 meter sebelah timur Masjid.
Di saat yang sama, orang-orang Tionghoa juga mengadakan perayaan besar-besaran. Oleh umat Islam perayaan tersebut dimohon tidak melewati jalan di depan Menara karena umat Islam sedang melaksanakan pembangunan. Namun, imbauan itu tidak digubris dan perayaan tetap melewati depan Menara. Akhirnya kedua belah pihak bertemu, dan bersitegang.
Tidak ada yang mau mengalah, pertemuan kedua kelompok ini memanas seiring dengan penghinaan Tionghoa terhadap Islam dengan cara dalam perayaan itu ada orang yang berpakaian putih-putih persis seperti kyai yang sedang bermesraan dengan para wanita. Sontak hal ini memicu huru-hara besar dan terjadi banyak kebakaran dan kerusakan rumah Tionghoa.
Pemerintahan waktu itu dipegang Belanda, dan memihak Tionghoa. Para kyai Kudus banyak yang ditahan, antara lain KHR Asnawi, Kyai Nur Badri Sunggingan dan masih banyak lagi. Di saat itu ada pihak-pihak yang ingin memecah belah dan menghancurkan paham-paham ahlussunah yang selama ini menjadi pegangan umat Islam di Indonesia.
“Ada tujuh ulama yang dikirim Wahabi ke Indonesia, di Jawa Tengah namanya Syekh Rodhi, Jawa Barat Surkati dan lima lainnya dikirim ke luar Jawa,” tutur beliau.
Syekh Rodhi pertama kali datang ke masjid Menara dan kemudian menyebarluaskan paham Wahabi. Antara lain menyatakan bahwa Ziarah Kubur haram, Berjanjen haram, tahlilan haram. Karena saat itu kyai-kyai sepuh masih berada di penjara, akhirnya dihadapi oleh kyai muda bernama Kyai Hamid Cap Catut. Akhirnya keduanya berdebat secara terbuka di Masjid Menara, dan Syekh Rodhi mengalami kekalahan dan akhirnya pergi dari Kudus.
“Upaya untuk menghancurkan akidah Ahlussunnah telah berlangusng dari dulu, tidak hanya sekarang ini,” tegas Kyai Sya’roni. Oleh karenanya, kyai sepuh ini selalu mengingatkan untuk berhati-hati dan meneguhkan akidah ahlussunah wal jama’ah dengan cara terus belajar dan mendalami ilmu agama. (*)
Lisan adalah anugerah dari Allah swt bagi manusia. Melalui lisan, manusia dapat mengekpresikan apa yang ada dalam hati ataupun pikirannya. Dengan lisan manusia dapat berkomunikasi dengan manusia lainnya. Melalui lisan ini pula manusia dapat memahami keinginan serta memahami ucapan manusia lainnya.
Secara bentuk fisik, lisan dapat dimaknai sebagai lidah. Sehingga, dengan lisan ini manusia dapat merasakan aneka jenis rasa, mulai dari manis, asem, kecut, pahit, asin dan sebagainya. Beragam masakan dan minuman dengan beribu macam variannya tak akan terasa nikmat bila tiada lisan. Beribu manfaat lain dapat diperoleh dan dinikmati manusia dari lisan ini.
Namun demikian, tulisan ini akan fokus pada pemaknaan lisan yang diartikan sebagai (1) sesuatu yang diucapkan, atau (2) dengan tutur kata (percakapan), sebagaimana definisi lisan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Fungsi lisan, selain dapat berkomunikasi bagi manusia dengan manusia lainnya, adalah berkomunikasi dengan Allah swt. Komunikasi ini terlihat jelas dalam bentuk ritus ibadah seperti sholat, wirid, istighfar, bersyukur, berdo’a, membaca Alquran, dan sebagainya. Bahkan, keimanan seseorang salah satunya terpancar melalui lisan, yakni dengan mengucap dua syahadat, sebagai bentuk kesaksian tiada Tuhan selain Allah dan kesaksian Muhammad utusan Allah. Begitu pula sebaliknya, kekafiran juga bisa terlihat dari ucapan lisannya.
Di sisi yang lain, lisan juga berperan penting dalam ritus ibadah sosial yang diatur dalam Islam. Seperti dalam pernikahan, khususnya dalam akad nikah, dalam jual beli, persewaan, hutang piutang, dan sebagainya. Lisan berperan sangat penting. Dalam ijab qabul pernikahan misalnya, fungsi lisan menjadi pokok, begitu pula dalam jual beli dan sebagainya. Melalui lisan ini adalah sebagai bentuk ekpresi seseorang dalam akad yang terjadi.
Begitu besar apa yang dapat diambil manfaat dari lisan. Tetapi bila disalahgunakan, atau tidak digunakan sebagaimana mestinya akibatnya sangat fatal. Sebuah pepatah “mulutmu adalah harimaumu” menggambarkan bahwa dari lisan atau perkataanmu dapat mendatangkan bahaya dan malapetaka. Artinya, lisan kita berpotensi untuk mendatangkan keburukan maupun kebaikan.
Bila lisan mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan, kata-kata yang jorok atau bahkan kata-kata yang menghina, minimal akan membuat orang lain sakit hati. Bahkan dengan hal ini, besar kemungkinan akan membuat orang lain memusuhinya. Bila dibiarkan, permusuhan dan ketidakharmonisan akan berkembang luas. Tidak sedikit contoh yang bermula dari satu ucapan kotor saja, berkembang menjadi perkelahian bahkan pertikaian yang tiada berujung.
Godaan lisan lainnya adalah berbohong. Hal ini kerap dilakukan dengan seribu alibi dan alasan. Para ulama telah bersepakat bahwa dusta atau bohong adalah memberikan atau menyampaikan informasi baik berupa laporan, data, pertanggungjawaban dan sebagainya yang tidak sesuai atau tidak cocok dengan kenyatannya.
Berdusta bisa diklasifikasi menjadi tiga buah, berdusta dengan perkataan, yaitu perkataan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berdusta secara tertulis, yaitu membuat suatu kontrak, transaksi, laporan, berita dan lainnya yang tidak sesuai dengan kejadian atau keadaan yang sebenarnya, dan berdusta dalam hati, artinya hatinya mendustakan sedang mulutnya membenarkan.
Untuk menyelamatkan lisan agar tidak sering berdusta, Nabi saw telah mewanti-wanti untuk menghindari kedustaan ini. Secara jelas dalam hadis Nabi dikatakan bahwa berbohong adalah salah satu ciri orang munafik. Dan orang munafik akan diganjar dengan neraka yang paling pedih.
“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga. jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya ia berkhianat.” (HR. Bukhari)
Menurut Syekh Mustofa al-Golayaini, peran lisan menjadi penting untuk melihat benar tidaknya seseorang. Bahkan tidak hanya itu, beliau mengingatkan, lisan saja tidaklah cukup, tetapi perlu dibuktikan dengan perbuatan. Dengan tegas beliau mengatakan, orang yang shiddiq adalah orang yang perbuatan dan perilakunya sesuai dengan perkataannya.
Dengan demikian sangatlah penting menjaga lisan dari perkataan-perkataan yang kotor ataupun perkataan yang dusta. Siapapun dan apapun motif yang dikandungnya, berbohong tidaklah baik. Tiada manusia yang ingin dibohongi, maka jauhilah kebohongan. Tiada manusia yang ingin disakiti, maka jauhilah kata-kata kotor dan menyakitkan.
Dengan tegas Nabi mengingatkan, hendaklah kalian berkata-kata baik, atau lebih baik diam. Waallahu A’lam. (*)
Dimuat di Cermin Hati, Radar Kudus Jawa Pos, Edisi Jum’at 14 September 2012

mari memotret

Setiap jam, menit, detik, dunia ini selalu mengalami perubahan. Tekhnologi pun mengalami kemajuan yang pesat dalam segala bidang, sehingga pekerjaan manusia semakin hari semakin ‘instan’. Begitu juga dalam dunia menggambar. Mungkin dahulu manusia menggambar masih menggunakan bebatuan, seperti relief. Alat tulis pun tak lupa mengalami perkembangan. Dunia teknologi juga unjuk gigi dalam bidang ini dan malah lebih mudah. Tinggal ‘jepret’ langsung jadi sebuah gambar. Tehnik gambar yang “instan” ini disebut dengan “fotografi”.
Dunia fotografi adalah dunia penuh warna. Semua yang nyata dengan mudah mampu tergambar dalam selembar kertas. Objeknya pun bervariasi, mulai dari yang serius, yang lucu, bahkan sampai yang aneh pun ada. Menjadi tak heran jika warta penuh dengan foto, karena foto sejatinya mampu bercerita dan memberita. Foto juga dapat dijadikan sebagai bukti sejarah atau pun menjadi kenangan-kenangan indah yang pernah kita alami.
Bicara soal objek foto, banyak objek yang bisa dijadikan sebagai bahan pemotretan, seperti pemandangan indah, laut luas, dan tak jarang pula para pemotret mengambil objek manusia, ataupun binatang sebagai bahan pemotretan. keduanya adalah makhluk hidup.
Inilah yang akan menjadi pembahasan kita kali ini. Apakah benar ada dalam fiqh tentang anggapan bahwa menggambar makhluk hidup itu disamakan dengan pembuatan makhluk hidup yang dilakukan oleh Tuhan?
Ada sebagian ulama yang berpendapat mengharamkan menggambar manusia, binatang, ataupun hewan, yang mana termasuk makhluk Allah yang mempunyai ruh. Sedangkan benda-benda yang tidak mempunyai ruh, diperbolehkan menggambarnya. Mereka mendasarkan pendapat mereka dari hadits:
مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَاباً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُصَوِّرُونَ هذِهِ الصُّوَرَ
Sesungguhnya termasuk dari manusia yang paling pedih siksanya di hari kiamat adalah yang menggambar gambaran ini. (Fiqhus Sunnah, III, 498)
Tambah lagi riwayat dari Abdullah bin Abbas tentang adanya ancaman bahwa besok di hari kiamat orang-orang yang menggambar objek itu akan disuruh memberikan nyawa pada gambarannya. Sedangkan orang-orang itu tak akan bisa meniupkan nyawa selamanya. (Fiqhus Sunnah, III, 498)
Ada juga hadits Nabi yang mengatakan:
لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ
Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar. (Shahih Bukhari, III, 1206)
Hadits ini menerangkan malaikat tidak mau masuk ke dalam rumah yang dihuni oleh anjing dikarenakan banyaknya najis, dan juga karena anjing itu adalah syetan, seperti yang ada dalam salah satu teks hadits. Sedangkan malaikat itu adalah lawan dari syetan. Karena itu, malaikat tidak berkenan untuk masuk ke rumah tersebut. Untuk yang gambar, malaikat tidak mau masuk rumah yang ada gambarannya dikarenakan gambaran adalah dosa yang keji karena di dalamnya terdapat unsur menyerupai buatan Allah, gambaran adalah sesembahan selain Allah. Maka dari itu malaikat tidak sudi untuk masuk ke dalam rumah itu.
Namun, bukan mutlak semua malaikat tidak mau masuk ke rumah yang ada gambarannya, tetapi yang dimaksud adalah malaikat yang yang tugasnya berkeliling membagi rahmat, berkah, dan ampunan. Adapun malaikat selain itu, tentu masih berkenan masuk karena bertugas sebagai pencatat amal, penjaga diri manusia, atau pencabut nyawa. Ketidakmauan malaikat tadi bukan karena malaikat rahmat itu takut pada gambar, syetan, atau pada anjing, tapi memang telah di-setting oleh Sang Pencipta seperti itu, sehingga pemilik rumah tidak mendapat jatah rahmat dan ampunan yang sedang dibagi-bagi. (Syarhun Nawawi Ala Muslim, VII, 207)
Makhluk hidup yang dimaksud di sini bukan hanya makhluk hidup yang sering kita lihat saja, tetapi juga mencakup makhluk-makhluk hidup fantastis yang bahkan mungkin kita belum pernah memikirkannya. Seperti kuda bersayap, burung berwajah manusia. Semuanya termasuk diharamkan untuk menggambarnya, karena semua itu juga menyerupai berhala. (Fathul Mu’in, III, 411; Ibanatul Ahkam, II, 335)
Menurut Imam al-Adzra’i, pendapat yang telah masyhur mengatakan kebolehan menggambar hewan yang tidak berkepala. Dipandang dari dhohir hadits, hewan yang tak berkepala, berarti tak bisa hidup. Sedangkan yang diharamkan adalah yang dimungkinkan hidup. (Mughnil Muhjat Ila Ma’rifati Alfadhil Minhaj, XIII, 104)
Berbeda lagi dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Nawawi. Beliau berpendapat bahwa boleh membuat gambar begitu jika gambar itu tidak ada bayangannya. Jadi yang haram adalah semacam patung yang berbentuk tiga dimensi. (Ibanatul Ahkam, II, 336)
Selain itu, pembuatan gambar/patung berupa boneka, robot, dan mainan anak-anak lainnya diperbolehkan. Dengan alasan mainan anak adalah kebutuhan bagi anak-anak, sampai mereka bisa berpikir dewasa. Siti ‘Aisyah pun pernah bermain menggunakan boneka di samping Rasulullah. Selain bentuk boneka, bentuk-bentuk binatang yang biasa ditemui pada permen, botol minuman, juga diperbolehkan. Karena juga termasuk kebutuhan bagi anak-anak. Gunanya adalah untuk melatih mereka dalam urusan pendidikan dan sebagai sarana edukatif. (Fathul Mu’in, III, 413)
Alasan (‘illat) kenapa menggambar ataupun membuat patung itu diharamkan adalah karena termasuk tasyabbuh. Yaitu menyerupai buatan Allah dan menyerupakan dirinya (orang yang membuat) dengan Allah. Segi persamaannya adalah sama-sama membuat bentuk makhluk.
Setiap perkara yang diharamkan pastilah mengandung hikmah tersendiri. Begitupun juga tentang pengharaman gambar dan patung ini. Hikmahnya adalah jauh dari berhala-berhala, melindungi diri dari perbuatan syirik, dan menyembah berhala. Pernah diriwayatkan bahwa nama-nama berhala seperti Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr, adalah nama orang-orang shaleh kaum Nabi Nuh. Ketika orang-orang shaleh itu meninggal, mereka membuat gambarnya untuk mengingat orang-orang shaleh itu. Dan pada akhirnya mereka malah menyembah orang-orang yang digambar tadi. Karena itu, menggambar jadi diharamkan karena nantinya akan berakhir pada penghambaan. (Tafsir al-Qurthubi, XVIII, 308)
Bicara tentang ‘illat, hukum itu berputar sesuai ‘illat-nya. Dalam kondisi sekarang, beda dengan kondisi dahulu, ketika masyarakat Arab masih belum sempurna lepas dari sesembahan nenek moyangnya yaitu patung. Sampai-sampai dalam sejarah mengatakan pada zaman itu ka’bah dikelilingi oleh 360 patung. Dalam sosio-kultur masa itu, memang dimungkinkan pembuatan gambar untuk disembah. Namun dalam kondisi masyarakat sekarang ini, malah jarang-jarang ada pembuatan patung untuk keperluan sesembahan, apalagi gambar. Maka, patung-patung seperti untuk mengingat jasa pahlawan, monumen, ataupun untuk keperluan seni boleh saja. Asalkan bukan untuk disembah.
Lalu bagaimana tentang fotografi?
Dalam KBBI, pegertian dari fotografi adalah seni dalam keterampilan membuat gambar dengan menggunakan film peka cahaya dalam kamera. (KBBI, 435)
Para ulama ahli fiqh mutaakhirin berpendapat bahwa fotografi (at-tashwir as-syamsi) bukan termasuk dalam area haram seperti halnya menggambar dengan tangan. Karena fotografi merupakan pengambilan gambar selayaknya bercermin. Kemudian bayangan itu dihentikan sehingga menjadi sedemikian rupa. Lagi pula, dalam fotogari ini tidak ada unsur tasyabbuh seperti yang disebut di depan tadi. Maka, boleh-boleh saja memotret objek apapun. Asalkan bukan yang dilarang. (Ibanatul Ahkam, II, 337)
Fotografi pun, jika pengambilan objeknya adalah barang-barang yang banyak dhoror-nya, tentu haram. Seperti foto syur, foto yang menghina orang lain, menghina Tuhan, dan lain sebagainya. Bukan karena fotografinya, tapi karena objeknya adalah sesuatu yang haram.
Akhirnya, fotografi bukanlah merupakan tashwir, tetapi fotografi adalah menghentikan bayangan. Jadi bukan termasuk tashwir yang diharamkan yang dibuat dengan tangan. Juga sama sekali tidak menimbulkan dhoror. Dan lebih baik lagi jika di dalamnya bisa menggugah semangat untuk beribadah, dan berisi maslahat bagi umat. Lebih-lebih digunakan sebagai batu loncatan untuk berdakwah menyebarkan Islam. So, ekspresikanlah senimu! [eLFa]

Jumat, 05 Oktober 2012

Biografi KH. MA. Sahal Mahfudz



DR. KH. MA. Sahal Mahfudz

Nama lengkap KH. MA. Sahal Mahfudz (selanjutnya disebut dengan Kyai Sahal) adalah Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz bin Abd. Salam Al-Hajaini lahir di Desa Kajen, Margoyoso Pati pada tanggal 17 Desember 1937.
Beliau adalah anak ketiga dari enam bersaudara yang merupakan ulama kontemporer Indonesia yang disegani karena kehati-hatiannya dalam bersikap dan kedalaman ilmunya dalam memberikan fatwa terhadap masyarakat baik dalam ruang lingkup lokal (masyarakat dan pesantren yang dipimpinnya) dan ruang lingkup nasional.
Sebelum orang mengenal Kyai Sahal, orang akan mengenalnya sebagai sosok yang biasa-biasa saja. Dengan penampilan yang sederhana orang mengira, beliau sebagai orang biasa yang tidak punya pengetahuan apapun. Namun ternyata pengetahuan dan kepakaran Kyai Sahal sudah diakui. Salah satu contoh, sosok yang menjadi pengasuh pesantren2 ini pernah bergabung dengan institusi yang bergerak dalam bidang pendidikan, yaitu menjadi anggota BPPN3 selama 2 periode yaitu dari tahun 1993-2003.
Kyai Sahal lahir dari pasangan Kyai Mahfudz bin Abd. Salam al- Hafidz (w 1944 M) dan Hj. Badi’ah (w. 1945 M) yang sedari lahir hidup di pesantren, dibesarkan dalam lingkungan pesantren, belajar hingga ladang pengabdiannya pun ada di pesantren. Saudara Kyai Sahal yang berjumlah lima orang yaitu, M. Hasyim, Hj. Muzayyanah (istri KH. Mansyur Pengasuh PP An-Nur Lasem), Salamah (istri KH. Mawardi, pengasuh PP Bugel-Jepara, kakak istri KH. Abdullah Salam ), Hj. Fadhilah (istri KH. Rodhi Sholeh Jakarta), Hj. Khodijah (istri KH. Maddah, pengasuh PP Assuniyah Jember yang juga cucu KH. Nawawi, adik kandung KH. Abdussalam, kakek KH. Sahal.).
Pada tahun 1968/69 Kyai Sahal menikah dengan Dra Hj Nafisah binti KH. Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang dan berputra Abdul Ghofar Rozin yang sejak sekarang sudah dipersiapkan untuk menggantikan kepemimpinan Kyai Sahal.
A. Latar Belakang Kehidupan
KH. Sahal Mahfudz dididik oleh ayahnya yaitu KH. Mahfudz dan memiliki jalur nasab dengan Syekh Ahmad Mutamakkin, namun KH. Sahal Mahfudz sangat dipengaruhi oleh kekyainan pamannya sendiri, K.H. Abdullah Salam. Syekh Ahmad Mutamakkin sendiri termasuk salah seorang pejuang Islam yang gigih, seorang ahli hukum Islam (faqih) yang disegani, seorang guru besar agama dan lebih dari itu oleh pengikutnya dianggap sebagai salah seorang waliyullah.
Sedari kecil Kyai Sahal dididik dan dibesarkan dalam semangat memelihara derajat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Apalagi Kiai Mahfudh Salam (yang juga bapaknya sendiri) seorang kiai ampuh, dan adik sepupu almarhum Rais Aam NU, Kiai Bisri Syamsuri. Selain itu juga terkenal sebagai hafidzul qur’an yang wira’i dan zuhud dengan pengetahuan agama yang mendalam terutama ilmu ushul.
Pesantren adalah tempat mencari ilmu sekaligus tempat pengabdian Kyai Sahal. Dedikasinya kepada pesantren, pengembangan masyarakat, dan pengembangan ilmu fiqh tidak pernah diragukan Pada dirinya terdapat tradisi ketundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqih dan keserasian total dengan akhlak ideal yang dituntut dari ulama tradisional. Atau dalam istilah pesantren, ada semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum agama) dan semangat tawarru’ (bermoral luhur).
Ada dua faktor yang mempengaruhi pemikiran Kyai Sahal yaitu, pertama adalah lingkungan keluarganya. Bapak beliau yaitu Kyai Mahfudz adalah orang yang sangat peduli pada masyarakat. Setelah Kyai Mahfudz meninggal, Kyai Sahal kemudian diasuh oleh KH. Abdullah Salam, orang yang sangat concern pada kepentingan masyarakat juga. Beliau adalah orang yang mendalami tasawuf juga orang yang berjiwa sosial tinggi. Dalam melakukan sesuatu ada nilai transendental yang diajarkan tidak hanya dilihat dari segi materi. Kyai Mahfudz orang yang cerdas, tegas dan peka terhadap persoalan sosial dan KH. Abdullah Salam juga orang yang tegas, cerdas, wira’I, muru’ah, dan murah hati. Di bawah asuhan dua orang yang luar biasa dan mempunyai karakter kuat inilah Kyai Sahal dibesarkan.
Yang kedua dari segi intelektual, Kyai Sahal sangat dipengaruhi oleh pemikiran Imam Ghazali. Dalam berbagai teori Kyai Sahal banyak mengutip pemikiran Imam Ghazali.13 Selama belajar di pesantren inilah Kyai Sahal berinteraksi dengan berbagai orang dari segala lapisan masyarakat baik kalangan jelata maupun kalangan elit masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi pemikiran beliau. Selepas dari pesantren beliau aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan. Perpaduan antara pengalaman di dunia pesantren dan organisasi inilah yang diimplementasikan oleh Kyai Sahal dalam berbagai pemikiran beliau.
Minat baca Kyai Sahal sangat tinggi dan bacaannya cukup banyak terbukti beliau punya koleksi 1.800-an buku di rumahnya. Meskipun Kyai Sahal orang pesantren bacaannya cukup beragam, diantaranya tentang psikologi, bahkan novel detektif walaupun bacaan yang menjadi favoritnya adalah buku tentang agama. Beliau membaca dalam artian konteks kejadian. Tidak heran kalau Kiai Sahal—meminjam istilah Gus Dur—lalu ‘menjadi jago’ sejak usia muda. Belum lagi genap berusia 40 tahun, dirinya telah menunjukkan kemampuan ampuh itu dalam forum-forum fiqih. Terbukti pada berbagai sidang Bahtsu Al-Masail tiga bulanan yang diadakan Syuriah NU Jawa Tengah, beliau sudah aktif di dalamnya. 
Kyai Sahal adalah pemimpin Pesantren Maslakul Huda Putra sejak tahun 1963. Pesantren di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, ini didirikan oleh ayahnya, KH Mahfudz Salam, tahun 1910. Sebagai pemimpin pesantren, Kyai Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional di kalangan NU yang mayoritas berasal dari kalangan akar rumput. Sikap demokratisnya menonjol dan dia mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi dan kesehatan.
B. Pendidikan dan Guru-guru KH Sahal
Untuk urusan pendidikan, yang paling berperan dalam kehidupan Kyai Sahal adalah KH. Abdullah Salam yang mendidiknya akan pentingnya ilmu dan tingginya cita-cita. KH. Abdullah Salam tidak pernah mendikte seseorang. Kyai Sahal diberi kebebasan dalam menuntut ilmu dimanapun. Tujuannya agar Kyai Sahal bertanggung jawab pada pilihannya. Apalagi dalam menuntut ilmu Kyai Sahal menentukan adanya target, hal inilah yang menjadi kunci kesuksesan beliau dalam belajar. Ketika belajar di Mathali’ul Falah Kyai Sahal berkesempatan mendalami nahwu sharaf, di Pesantren Bendo memperdalam fiqh dan tasawuf, sedangkan sewaktu di Pesantren Sarang mendalami balaghah dan ushul fiqh.
Memulai pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (1943-1949), Madrasah Tsanawiyah (1950-1953) Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati. Setelah beberapa tahun belajar di lingkungannya sendiri, Kyai Sahal muda nyantri ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur di bawah asuhan Kiai Muhajir, Selanjutnya tahun 1957-1960 dia belajar di pesantren Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair. Pada pertengahan tahun 1960-an, Kyai Sahal belajar ke Mekah di bawah bimbingan langsung Syaikh Yasin al-Fadani. Sementara itu, pendidikan umumnya hanya diperoleh dari kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953).
Di Bendo Kyai Sahal mendalami keilmuan tasawuf dan fiqih termasuk kitab yang dikajinya adalah Ihya Ulumuddin, Mahalli, Fathul Wahab, Fathul Mu’in, Bajuri, Taqrib, Sulamut Taufiq, Sullam Safinah, Sullamul Munajat dan kitab-kitab kecil lainnya. Di samping itu juga aktif mengadakan halaqah- halaqah kecil-kecilan dengan teman-teman senior. Sedangkan di Pesantren Sarang Kyai Sahal mengaji pada Kyai Zubair19 tentang ushul fiqih, qawa’id fiqh dan balaghah. Dan kepada Kyai Ahmad beliau mengaji tentang Hikam. Kitab yang dipelajari waktu di Sarang antara lain, Jam’ul Jawami dan Uqudul Juman, Tafsir Baidlowi tidak sampai khatam, Lubbabun Nuqul sampai khatam, Manhaju Dzawin Nazhar karangan Syekh Mahfudz At-Tarmasi dan lain-lain.
C. Tugas dan Jabatan
Kyai Sahal bukan saja seorang ulama yang senantiasa ditunggu fatwanya, atau seorang kiai yang dikelilingi ribuan santri, melainkan juga seorang pemikir yang menulis ratusan risalah (makalah) berbahasa Arab dan Indonesia, dan juga aktivis LSM yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap problem masyarakat kecil di sekelilingnya. Penghargaan yang diterima beliau terkait dengan masyarakat kecil adalah penganugerahan gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam bidang pengembangan ilmu fiqh serta pengembangan pesantren dan masyarakat pada 18 Juni 2003 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Peran dalam organisasipun sangat signifikan, terbukti beliau dua periode menjabat Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2009) dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2000-2010. Pada Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII (28/7/2005) Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), itu terpilih kembali untuk periode kedua menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2005-2010.
Pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Donohudan, Boyolali, Jateng., Minggu (28/11-2/12/2004), beliau pun dipilih untuk periode kedua 2004-2009 menjadi Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU). Pada 26 November 1999, untuk pertama kalinya dia dipercaya menjadi Rais Aam Syuriah PB NU, mengetuai lembaga yang menentukan arah dan kebijaksanaan organisasi kemasyarakatan yang beranggotakan lebih 30-an juta orang itu. KH Sahal yang sebelumnya selama 10 tahun memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, juga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI pada Juni 2000 sampai tahun 2005.
Selain jabatan-jabatan diatas, jabatan lain yang sekarang masih diemban oleh beliau adalah sebagai Rektor INISNU Jepara, Jawa Tengah (1989-sekarang) dan pengasuh Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati (1963 - Sekarang).
Sedangkan pekerjaan yang pernah beliau lakukan, adalah guru di Pesantren Sarang, Rembang (1958-1961), Dosen kuliah takhassus fiqh di Kajen (1966-1970), Dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati (1974-1976), Dosen di Fak. Syariah IAIN Walisongo Semarang (1982-1985), Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara (1989-sekarang), Kolumnis tetap di Majalah AULA (1988-1990), Kolumnis tetap di Harian Suara Merdeka, Semarang (1991-sekarang), Rais 'Am Syuriyah PBNU (1999-2004), Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI, 2000-2005), Ketua Dewan Syari'ah Nasional (DSN, 2000-2005), dan sebagai Ketua Dewan Pengawas Syari'ah pada Asuransi Jiwa Bersama Putra (2002-sekarang).
Sosok seperti Kyai Sahal ini kiranya layak menjadi teladan bagi semua orang. Sebagai pengakuan atas ketokohannya, beliau telah banyak mendapatkan penghargaan, diantaranya Tokoh Perdamaian Dunia (1984), Manggala Kencana Kelas I (1985-1986), Bintang Maha Putra Utarna (2000) dan Tokoh Pemersatu Bangsa (2002).
Sepak terjang KH. Sahal tidak hanya lingkup dalam negeri saja. Pengalaman yang telah didapatkan dari luar negeri adalah, dalam rangka studi komparatif pengembangan masyarakat ke Filipina tahun 1983 atas sponsor USAID, studi komparatif pengembangan masyarakat ke Korea Selatan tahun 1983 atas sponsor USAID, mengunjungi pusat Islam di Jepang tahun 1983, studi komparatif pengembangan masyarakat ke Srilanka tahun 1984, studi komparatif pengembangan masyarakat ke Malaysia tahun 1984, delegasi NU berkunjung ke Arab Saudi atas sponsor Dar al-Ifta’ Riyadh tahun 1987, dialog ke Kairo atas sponsor BKKBN Pusat tahun 1992, berkunjung ke Malaysia dan Thailand untuk kepentingan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) tahun 1997.
D. Karya-karya KH. MA. Sahal Mahfudz
Kyai Sahal adalah seorang pakar fiqih (hukum Islam), yang sejak menjadi santri seolah sudah terprogram untuk menguasai spesifikasi ilmu tertentu yaitu dalam bidang ilmu Ushul Fiqih, Bahasa Arab dan Ilmu Kemasyarakatan. Namun beliau juga mampu memberikan solusi permasalahan umat yang tak hanya terkait dengan tiga bidang tersebut, contohnya dalam bidang kesehatan dan beliau menemukan suatu bagian tersendiri dalam fiqh.
Dalam bidang kesehatan Kyai Sahal mendapat penghargaan dari WHO dengan gagasannya mendirikan taman gizi yang digerakkan para santri untuk menangani anak-anak balita (hampir seperti Posyandu). Selain itu juga mendirikan balai kesehatan yang sekarang berkembang menjadi Rumah Sakit Islam. 
Berbicara tentang karya beliau, pada bagian fiqh beliau menulis seperti Al-Tsamarah al-Hajainiyah yang membicarakan masalah fuqaha, al-Barokatu al- Jumu’ah ini berbicara tentang gramatika Arab. Sedangkan karya Kyai Sahal yang berbentuk tulisan lainnya adalah: 
  • Buku (kumpulan makalah yang diterbitkan):

  1. Thariqatal-Hushul ila Ghayahal-Ushul, (Surabaya: Diantarna, 2000)
  2. Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999)
  3. Al-Bayan al-Mulamma' 'an Alfdz al-Lumd", (Semarang: Thoha Putra, 1999)
  4. Telaah Fikih Sosial, Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh, (Semarang: Suara Merdeka, 1997)
  5. Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994)
  6. Ensiklopedi Ijma' (terjemahan bersama KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausu'ah al-Ij ma'). (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987).
  7. Al-Tsamarah al-Hajainiyah, I960 (Nurussalam, t.t)
  8. Luma' al-Hikmah ila Musalsalat al-Muhimmat, (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati).
  9. Al-Faraid al-Ajibah, 1959 (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati)

  • Risalah dan Makalah (tidak diterbitkan):

  1. Tipologi Sumber Day a Manusia Jepara dalam Menghadapi AFTA 2003 (Workshop KKNINISNU Jepara, 29 Pebruari 2003).
  2. Strategi dan Pengembangan SDM bagi Institusi Non-Pemerintah, (Lokakarya Lakpesdam NU, Bogor, 18 April 2000).
  3. Mengubah Pemahaman atas Masyarakat: Meletakkan Paradigma Kebangsaan dalam Perspektif Sosial (Silarurahmi Pemda II Ulama dan Tokoh Masyarakat Purwodadi, 18 Maret 2000).
  4. Pokok-Pokok Pikiran tentang Militer dan Agama (Halaqah Nasional PB NU dan P3M, Malang, 18 April 2000)
  5. Prospek Sarjana Muslim Abad XXI, (Stadium General STAI al-Falah Assuniyah, Jember, 12 September 1998)
  6. Keluarga Maslahah dan Kehidupan Modern, (Seminar Sehari LKKNU, Evaluasi Kemitraan NU-BKKBN, Jakarta, 3 Juni 1998)
  7. Pendidikan Agama dan Pengaruhnya terhadap Penghayatan dan Pengamalan Budi Pekerti, (Sarasehan Peningkatan Moral Warga Negara Berdasarkan Pancasila BP7 Propinsi Jawa Tengah, 19 Juni 1997)
  8. Metode Pembinaan Aliran Sempalan dalam Islam, (Semarang, 11 Desember 1996)
  9. Perpustakaan dan Peningkatan SDM Menurut Visi Islam, (Seminar LP Ma'arif, Jepara, 14 Juli 1996)
  10. Arah Pengembangan Ekonomi dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Seminar Sehari, Jember, 27 Desember 1995)
  11. Pendidikan Pesantren sebagai Suatu Alternatif Pendidikan Nasional, (Seminar Nasional tentang Peranan Lembaga Pendidikan Islam dalam Peningkatan Kualitas SDM Pasca 50 tahun Indonesia Merdeka, Surabaya, 2 Juli 1995)
  12. Peningkatan Penyelenggaraan Ibadah Haji yang Berkualitas, (disampaikan dalam Diskusi Panel, Semarang, 27 Juni 1995)
  13. Pandangan Islam terhadap Wajib Belajar, (Penataran Sosialisasi Wajib belajar 9 Tahun, Semarang 10 Oktober 1994)
  14. Perspektif dan Prospek Madrasah Diniyah, (Surabaya, 16 Mei 1994)
  15. Fiqh Sosial sebagai Alternatif Pemahaman Beragama Masyarakat, (disampaikan dalam kuliah umum IKAHA, Jombang, 28 Desember 1994)
  16. Reorientasi Pemahaman Fiqh, Menyikapi Pergeseran Perilaku Masyarakat, (disampaikan pada Diskusi Dosen Institut Hasyim Asy'ari, Jombang, 27 Desember 1994)
  17. Sebuah Releksi tentang Pesantren, (Pati, 21 Agustus 1993)
  18. Posisi Umat Islam Indonesia dalam Era Demokratisasi dari Sudut Kajian Politis, (Forum Silaturahmi PP Jateng, Semarang, 5 September 1992).
  19. Kepemimpinan Politik yang Berkeadilan dalam Islam, (Halaqah Fiqh Imaniyah, Yogyakarta, 3-5 Nopember 1992)
  20. Peran Ulama dan Pesantren dalam Upaya Peningkatan Derajat Kesehatan Umat, (Sarasehan Opening RSU Sultan Agung, Semarang, 26 Agustus 1992).
  21. Pandangan Islam Terhadap AIDS, (Seminar, Surabaya,1 Desember 1992)
  22. Kata Pengantar dalam buku Quo Vadis NU karya Kacung Marijan, (Pati, 13 Pebruari 1992)
  23. Peranan Agama dalam Pembinaan Gizi dan Kesehatan Keluarga, Pandangan dari Segi Posisi Tokoh Agama, Muallim, dan Pranata Agama, (Muzakarah Nasional, Bogor, 2 Desember 1991)
  24. Mempersiapkan Generasi Muda Islam Potensial, (Siaran Mimbar Agama Islam TVRI, Jakarta, 24 Oktober 1991)
  25. Moral dan Etika dalam Pembangunan, (Seminar Kodam IV, Semarang, 18-19 September 1991)
  26. Pluralitas Gerakan Islam dan Tantangan Indonesia Masa Depan, Perpsketif Sosial Ekonomi, (Seminar di Yogyakarta, 10 Maret 1991)
  27. Islam dan Politik, (Seminar, Kendal, 4 Maret 1989)
  28. Filosofi dan Strategi Pengembangan Masyarakat di Lingkungan NU, (disampaikan dalam Temu Wicara LSM, Kudus, 10 September 1989)
  29. Disiplin dan Ketahanan Nasional, Sebuah Tinjauan dari Ajaran Islam, (Forum MUIII, Kendal, 8 Oktober 1988)
  30. Relevansi Ulumuddiyanah di Pesantren dan Tantangan Masyarakat, (Mudzakarah, P3M, Mranggen, 19-21 September 1988)
  31. Prospek Pesantren dalam Pengembangan Science, (Refreshing Course KPM, Tambak Beras, Jombang 19 Januari 1988)
  32. Ajaran Aswaja dan Kaitannya dengan Sistem Masyarakat, (LKL GP Anshor dan Fatayat, Jepara 12-17 Februari 1988)
  33. AIDS dan Prostisusi dari Dimensi Agama Islam, (Seminar AIDS dan Prostitusi YAASKI, Yogyakarta, 21 Juni 1987)
  34. Sumbangan Wawasan tentang Madrasah dan Ma'arif, (Raker LP Ma'arif, Pati, 21 Desember 1986)
  35. Program KB dan Ulama, (Pati, 27 Oktober 1986)
  36. Hismawati dan Taman Gizi, (Sarasehan gizi antar santriwati,
  37. Administrasi Pembukuan Keuangan Menurut Pandangan Islam, (Latihan Administrasi Pembukuan dan Keuangan bagi TPM, Pan, 8 April 1986) 
  38. Pendekatan Pola Pesantren sebagai Salah Satu Alternatif membudayakan NKKBS, (Rapat Konsultasi Nasional Bidang, KB, Jakarta, 23-27 Januari 1984)
  39. Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan di Pesantren, (Lokakarya Pendidikan Kependudukan di Pesantren, (Jakarta, 6-8 Januari 1983)
  40. Tanggapan atas Pokok-Pokok Pikiran Pembaharuan Pendidikan Nasional, (27 Nopember 1979)
  41. Peningkatan Sosial Amaliah Islam, (Pekan Orientasi Ulama Khotib, Pati, 21-23 Pebruari 1977)
  42. Intifah al-Wajadain, (Risalah tidak diterbitkan)
  43. Wasmah al-Sibydn ild I'tiqdd ma' da al-Rahman, (Risalah tidak diterbitkan)
  44. I'dnah al-Ashhdb, 1961 (Risalah tidak diterbitkan)
  45. Faid al-Hija syarah Nail al-Raja dan Nazhdm Safinah al-Naja, 1961 (Risalah tidak diterbitkan)
  46. Al-Tarjamah al-Munbalijah 'an Qasiidah al-Munfarijah, (Risalah tidak diterbitkan)